.:tutup:.
Selamat datang di blog www.busungbiuct.blogspot.com Tentang desa kami, walaupun sederhana tetapi saya berusaha memberikan yang terbaik untuk anda. Terima kasih atas kunjungannya

Rabu, Desember 05, 2012

Rabu, Agustus 15, 2012

Peserta Gerak Jalan 45 Kilometer Dikawal Aparat

Dikhawatirkan Rusuh
Singaraja (Bali Post) -Meski sempat dikhawatirkan rusuh akibat dampak
dari ketegangan antara kelompok warga Banyuning dan Peguyangan, ternyata
pelaksanaan lomba gerak jalan dewasa putra yang menempuh jarak 45
kilometer, Sabtu (11/8) tengah malam hingga Minggu (12/8) pagi kemarin
berjalan lancar. Meski begitu, aparat keamanan dari TNI dan Polres
Buleleng tetap sibuk melakukan pengawalan dan pengamanan secara ketat
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bentrok antarpeserta atau
antarsuporter dalam lomba tersebut.

Lomba gerak jalan itu dimulai dari Lapangan Busungbiu yang diikuti 21
regu dari kalangan pelajar, mahasiswa dan kelompok pemuda. Rute dibagi
menjadi tiga etape. Etape pertama start di Lapangan Umum Desa Busungbiu,
etape kedua dari Lapangan Desa Seririt dan etape ketiga start di
Terminal Kargo Jalan A. Yani Singaraja, kemudian finis di depan GOR
Bhuana Patra Singaraja. Lomba itu dibuka Bupati Buleleng Putu Agus
Suradnyana didampingi Wabup dan pejabat Muspida.

Sepanjang perjalanan, lomba berjalan dengan lancar. Yang istimewa,
setiap regu mendapat pengamanan yang cukup ketat, terutama regu dari
Banyuning. Ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
hal-hal buruk di tengah jalan. Pasalnya, sehari sebelumnya sempat
terjadi ketegangan antara kelompok warga dari Kelurahan Banyuning dan
warga di Peguyangan, Kelurahan Astina.

Yang cukup mengganggu, lomba gerak jalan ini diwarnai konvoi kendaraan
dari suporter yang rawan memancing kerusuhan. Masing-masing regu gerak
jalan ini diikuti para pendukung dengan konvoi sepeda motor dan mobil
mengikuti dari belakang. Tak hanya itu, para pendukung regu gerak jalan
ini membawa mobil yang dihiasi bendera kebesaran organisasi atau wilayah
yang diwakili dan dilengkapi suara musik untuk menambah semangat regu
gerak jalan yang bertanding. Pendukung yang membawa motor juga kerap
menggeber gas kendaraannya dengan keras.

Kabag Ops. Polres Buleleng Kompol Ida Bagus Wedanajati mengatakan,
kendati diwarnai dengan aksi konvoi sepeda motor, namun pelaksanaan
gerak jalan berjalan cukup tertib, aman dan lancar. Menurutnya,
pengamanan regu gerak jalan itu sangat ketat karena polisi ingin
memberikan pelayanan pengamanan optimal kepada setiap regu gerak jalan,
sehingga bisa menyelesaikan perlombaan dengan baik.

Ia membantah bahwa pengamanan ketat ini tidak ada kaitannya dengan kasus
Banyuning-Peguyangan beberapa hari lalu. "Yang jelas, pengamanan sudah
menjadi tanggung jawab aparat Polri bersama TNI dan tidak ada permintaan
dari siapa pun," katanya.



Sumber : Bali Post

Sabtu, Maret 31, 2012

Progres Pembangunan Bendungan Titab Mencapai 26,25%

IMG 0372Bendungan Titab, yang terletak di Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali merupakan salah satu dukungan Kementerian Pekerjaan Umum terhadap Masterplan Percepatan dan Perluasan pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, yang saat ini telah mencapai progres fisik 26,25 %.
Hal tersebut diungkapkan Bambang Guritno, Kepala Badan Konstruksi Kementerian PU, ketika mengunjungi proyek pembangunan Bendungan Titab, 11 Januari 2011, di Buleleng, Bali.
Bendungan titab yang berlokasi di Desa Ularan dan Desa Ringdikit, Kecamatan Seririt serta Desa Busungbiu, Desa Telaga dan Desa Titab, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, merupakan bendungan dengan tipe urugan batu random dengan inti tegak. Dengan luas genangan 68,83 ha dan volume tampungan total 12,8 juta m3 dan pembebasan lahan 138 ha (Pemerintah Pusat 50%, Provinsi 35% dan Kabupaten 15%).  
“Pengadaan tanah harus dipantau dan dikoordinasikan dalam pelaksanaannya agar tidak mengganggu pekerjaan konstruksi khususnya pada pengambilan bahan quary (clay dan batu) di lokasi tersebut,” jelas Bambang Guritno.
Kegiatan yang saat ini sedang dilaksanakan adalah conduit pengelak, bangunan pelimpah (spillway), bendungan pengelak (cofferdam) dan bendungan utama. Pembangunan bendungan titab di Kabupaten Buleleng dilaksanakan selama 4 tahun (2011-2014) dengan dana APBN melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida Direktorat Jenderal SDA Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp. 400.789.900.000.(datin SDA).


Sumber : 

Minggu, Maret 25, 2012

Melasti di "Busungbiu"

Seperti biasa menjelang perayaan hari Raya Nyepi, sebagian besar umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Melis, Mekiyis atau melasti yang masih merupakan rangkaian upacara Nyepi. Melasti kali ini didesa busungbiu dilaksanakan pada hari rabu 21 maret 2012,



Add caption
Add caption
Add caption


Add caption

Add caption

Add caption

Add caption

Add caption

Add caption

Add caption

Rabu, Maret 21, 2012

Melasti Merupakan Simbol Penyucian Alam Semesta

Menjelang perayaan hari Raya Nyepi, sebagian besar umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Melis, Mekiyis atau melasti yang masih merupakan rangkaian upacara Nyepi. Dikatakan, upacara itu dilaksanakan oleh sebagian besar umat Hindu dan bukan seluruhnya, karena memang tradisi melis atau mekiyis ini sendiri tidak dilaksanakan secara serentak. Semuanya disesuaikan dengan adat tradisi yang berkembang dimasing-masing daerah. Sementara umat Hindu yang ada di belahan Selatan Pulau Bali seperti Badung, Denpasar dan Gianyar, melasti lebih banyak dilaksanakan 3 hari sebelum Nyepi. Mulai pagi sampai sore hari dipastikan pantai-pantai yang ada di tiga daerah ini akan dipenuhi oleh ribuan umat Hindu yang ngiring sesuhunan masing-masing. Selama ini dilingkungan umat Hindu, harus diakui masih banyak terjadi ketidaktepatan atau kurang mendalamnya pemahaman mengenai apa makna sesungguhnya dari upacara melasti ini. Sama dengan perayaan hari raya Hindu lainnya, umat nampaknya lebih banyak tersita waktunya kepada kesibukan untuk menyiapkan dan melaksanakan ritual daripada mencoba melakukan perenungan atas apa makna di balik ritual itu sendiri. Menurut Drs. I Ketut Wiana, di kalangan umat Hindu sampai saat ini masih menyebut melasti hanya semata-mata sebatas upacara memandikan pretima atau simbol-simbol sakral belaka. Sesungguhnya, kata Wiana, sebagai rangkaian Hari Raya Nyepi, melasti memiliki makna yang sangat luas dan mendalam. Dalam lontar Aji Swamandala disebutkan; ''Melasti Ngarania prawatek Dewata anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana''. Kalimat ini mengandung arti bahwa melasti dimaksudkan untuk menghayutkan penderitaan masyarakat (laraning jagat), meghilangkan penderitaan (papa klesa) dan kekotoran alam semesta (letuhing bhuwana). Hal ini diwujudkan dengan ngiring simbol-simbol sakral ke sumber-sumber mata air seperti laut, sungai atau danau. Sementara itu didalam Lontar Sunarigama disebutkan mengenai tujuan melasti yakni "amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara" yang artinya mengambil sari-sari kehidupan ditengah samudra. Upacara melasti dilakukan oleh kelompok umat yang memiliki sungsungan pura. Simbol-simbol sakral seperti pretima atau pecanangan dari para dewata manifestasi Tuhan dipuja di suatu pura tersebut berkumpul dan di-stana-kan di Bale Agung Pura Desa adat bersangkutan. Pada saat yang telah ditentukan secara berpawai atau di Bali disebut mapeed, semua simbol-simbol sakral diusung menuju sumber air seperti laut, sungai maupun danau. Di sumber air itulah upacara puncak melasti dilangsungkan yang intinya berupa upacara menghaturkan Bhakti pada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Baruna dan terakhir nunas tirta wangsuhpada sebagai simbol tirta Amerta Kamandalu yang didapatkan di tengah segara. Inilah inti dari upacara melasti yang memiliki makna lebih mendalam untuk mengarahkan manusia agar selalu mengembangkan keinginan-keinginan yang didasari hati yang mulia. Semua itu tidak lepas dari keberadaan tirta Kamandalu sebagai air suci untuk memenuhi keinginan yang mulia. Upacara mapeed dalam melasti ini sendiri sesungguhnya memiliki makna tersendiri yakni menyucikan secara spiritual lingkungan desa tersebut. Penyucian ini dilakukan dengan menghadirkan pretima dan simbol-simbol suci lainnya. Kehadiran pretima ini diyakini menghadirkan vibrasi spiritual kepada umat disekitarnya. Terkait dengan hal ini, mungkin ada fenomena menarik yang terjadi dalam kurun waktu belakangan pada beberapa desa adat dimana mapeed dalam melasti tidak lagi terjadi. Untuk menuju pantai sebagai tempat melasti, umat ngiring sesuhunannya dengan menggunakan kendaraan truk. Berbagai alasan melatarbelakangi berubahnya tradisi ini. Mulai karena lokasi pantai yang dituju cukup jauh kalau ditempuh dengan jalan kaki, sampai dengan alasan kemacetan yang diakibatkan karena mapeed ini. Sehari setelah melasti, disebut nyejer, dimana pretima atau pecanangan Ida Bathara sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa melinggih di Pura Desa, Bale Agung atau pura masing-masing. Nyejer berasal dari kata jejer yang artinya tegak tak tergoyahkan. Dalam rangkaian Nyejer ini sesungguhnya umat diajarkan untuk membangun sradha dan Bhakti yang tangguh atau jejer pada Tuhan. Dengan rasa Ketuhanan yang tangguh itu manusia akan diberikan kekuatan untuk mengendalikan hidupnya sehari-hari yang sering dihadang berbagai godaan. Kalau keyakinan pada Tuhan demikian tegak dan teguhnya maka godaan demi godaan akan dapat diatasi dengan baik dan benar.

Sabtu, Maret 17, 2012

Kisah Gunung Batur

Pada zaman dahulu, ada permaisuri Raja Galuh yakni Dewi Naga Ningrum atau Dewi Rondo Asih. Karena ada perebutan kekuasaan Dewi Pangrenyep yang juga merupakan permaisuri Raja Galuh memfitnah Dewi Naga Ningrum berselingkuh dengna Patih. Karena diprediksi kedua anak Permaisuri tersebut sama-sama lelaki. Kemudian oleh pendukung Dewi Pangrenyep akhirnya Dewi Naga Ningrum diusir dari kerajaan pada saat hamil dan beliau dikawal oleh dua juru taman yakni Saud dan Musroh. Niatnya pergi ingin mencari kakeknya yang bernama Kyai Nambi yang sedang bertapa namun tidak tahu dimana tepatnya tetapi kira-kira di daerah Gunungkidul. Ditengah perjalanan Dewi Ningrum Asih atau Dewi Naga Ningrum merasa akan melahirkan dan menyuruh Saud dan Musroh mencari air. Karena kesulitan dalam membawa air (hanya menggunakan daun alas) Saud dan Musroh menemukan bayi yang sudah lahir tetapi Dewi Ningrum Asih sudah meninggal dunia. Karena ditengah hutan meski SAUD dan Musroh menangis begitu kencang akan tetapi tak ada satupun orang yang menolong hingga Saud dan Musroh tertidur dan dalam tidur mereka terdengar bisikan gaib yang berbunyi “Kamu jangan menangis nanti akan datang orang yang akan menolong kamu jika ayam jantan sudah berkokok, dan pesan saya berilah nama anak laki-laki itu JAKA MURSADA (lahir di Gunung Putri). Kemudian kuburlah mayat wanita ini didekat kamu mengambil air (di Gunung Wilis)”. Kemudian datanglah seorang penggembala kerbau bersama kerbaunya ketempat sang bayi yang sebenarnya adalah Kyai Nambi. Setelah sang jabang bayi dirawat dan dimandikan dan ari-arinya dikubur disebuah gunung berapi yang akan meletus tetapi karena ditanami ari-ari gunung tersebut tidak jadi meletus. Gunung yang dimaksud adalah GUNUNG BATUR. Karena gunung tidak meletus, konon magma yang ada di dalam bumi tidak bisa keluar dan mengakibatkan munculnya banyak gunung-gunung di Gunungkidul dan salah satunya adalah Gunung Wilis tempat mengubur atau menyemayamkan Dewi Ningrum Asih dan ketika tempat itu menjadi telaga namanya adalah Telaga Piji.
Sang bayi kemudian dirawat oleh Ki Nambi dan Nyai Nambi beserta Saud-Musroh di Desa Piji. Setelah usia remaja Joko Mursada mempunyai hobi memancing. Kebetulan pada suatu malam Ia mendapat mimpi bahwa dia akan pulang ke kerajaannya tetapi dia harus memancing di Laut Selatan. Sedangkan umpan memancing bukan cacing atau unpan kecil lainnya akan tetapi umpan yang digunakan adalah seekor kambing (wedus kendit pancal panggung) yakni seekor kambing yang mempunyai kaki putih kepala putih dan di bagian perut ada garis merah melingkar. Setelah itu Joko Mursodo bilang ke Ki Nambi kemudian Ki Nambi mengupayakan umpan dan alat memacing karena Ki Nambi sudah mengetahui Arti dari mimpi dari Joko Mursodo. Setelah perlengkapan lengkap mancingpun dilaksanakan (di pantai Pengilon yakni di kaki Gunung Batur sebelah barat). Akan tetapi Ki Nambi hanya menunggu di suatu tempat sambil menggembala kerbau dan yang mengantar ke tempat pemancingan adalah Saud dan Musroh. Setelah umpan dilempar ke laut Joko Mursodo berhasil mendapat ikan yang sangat besar dan dapat berbicara dan ikan tersebut mengaku sebagai raja ikan di laut selatan (rojo mino bader rebang sisik kencono) yang berarti raja ikan yang berwarna merah dan mempunyai sisik emas (bertempat di Bulak Widodaren). Dan ketika ikan tersebut di tarik ke daratan oleh Joko Mursodo beserta Saud-Musroh mengakibatkan terjadinya tanah longsor dan yang dapat menarik kedaratan hanyalah kerbau milik Ki Nambi. Dan ikan tersebut mengajak JoKo Mursodo mengikuti raja ikan ke samudera dengan cara menaiki punggung ikan tersebut yang kemudian akan diajak ke kerajaan sang ikan Akan tetapi pada saat ikan tersebut kembali ke laut, kerbau tersebut ikut hanyut bersama Ki Nambi dan Nyai Nambi. Sedangkan Saud-Musroh masih berada di daratan.
Setelah dikembalikan ke daratan lagi sang raja ikan berkata “ kamu joko mursodo, kelak akan menjadi seorang raja tanah jawa, dan kapanpun kamu ingin bertemu dengan saya, datanglah ketempat ini dan memanggil saya”, dan raja ikan kembali ke laut, dan joko mursodo kembali menemui saud-musroh.
CERITA DI KERAJAAN GALUH
Sang permaisuri raja dewi pangrenyep melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Hariam bangga. Setelah putra mahkota tersebut beranjak remaja, di Negara Galuh dilanda bencana Pageblug yakni bencana kelaparan, banyak orang meninggal, dan banyak orang sakit. Kemudian Raja galuh pada saat itu yang masih dipegang oleh ayah kandung joko mursodo mengadakan sayembara untuk rakyatnya , yang berbunyi “ barang siapa yang bisa mencarikan tumbal untuk mencarikan tumbal untuk Negara Galuh, dan dapat pulih seperti semula, maka akan diberi tahta kerajaan Galuh”. Berita tersebut akhirnya sampai juga ditelinga joko mursodo beserta Saud-musroh yang masih didalam hutan. Joko mursodo berniat memulihkan kerajaan Galuh dengan mencarikan tumbal dan untuk menjadi Raja Galuh kembali. Joko mursodo akhirnya menemui sang raja ikan untuk meminta saran dan meminta tumbal bagi Negara Galuh yang sedang dilanda bencana, raja ikin pun mengajak joko mursodo untuk menemui penguasa laut selatan untuk Negara galuh. Setelah tumbal dilaksanakan dan Negara Galuh kembali pulih seperti semula, niat mengangkat sebagai joko mursodo sebagai raja pun urung dilaksanakan, mereka ingkar janji dan menyuruh joko mursodo bertapa dalam api sebelum di nobatkan sebagai raja, tapi itu merupakan kelicikan bawahan raja yang tidak ingin joko mursodo menjadi raja. Tetapi joko mursodo pun tidak gentar menghadapi tantangan para begundal bawahan raja tersebut, akhirnya dia bertapa dalam api tetapi berhasil lolos dari maut dan dengan kesaktian yang dimiliki joko mursodo malah membalikan keadaan dan malah membakar kerajaan galuh menjadi lautan api. Tapi oleh para begundal kerajaan Galuh, joko mursodo malah dituduh sebagai penghiaanat karena telah membakar kerajaan. Dan pada akhirnya rakyat yang sudah mengharap joko mursodo menjadi raja Galuh pun marah kepada para antek kerajaan yang telah ingkar janji, para rakyat ini menjadi pendukung joko mursodo dalam perang menghadapi kerajaan galuh yang dzalim. Dan pada akhirnya para pendukung dari hariam bangga banyak yang tewas dan tinggal duel satu lawan satu antara joko mursodo melawan hariam bangga , pada akhirnya joko mursodo akhirnya dapat memenangkan duel tersebut karena telah mendapatkan bisikan dari dewa bahwa dia akan menang dan akan menjadi raja. Hariam bangga pun pada akhirnya hanya menjadi raja bawahan yakni di kerajaan Pajajaran.

Jumat, Maret 16, 2012

Kisah Jayaprana dan Layonsari

Ada seorang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.
Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putri Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Layonsari dikawinkan dengan Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada Jayaprana, lalu Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya Jayaprana dengan Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk Jayaprana.
Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila  Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil Jayaprana supaya menghadap ke paseban. Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri Paduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar.Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi  Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian  Saunggaling berkata kepada Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”


Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada Jayaprana. Setelah Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya  Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya Jayaprana meminta kepada Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah Saunggaling mempermaklumkan kepada Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

Air Terjun di Desa Bengkel kec. Busungbiu

            Setelah selesai mengubah dan memindah data dari wordpress ke blogspot, saya akan memberitahukan tentang obyek wisata yang belum terjamah oleh banyak orang. Obyek wisata yang saya maksud adalah air terjun, dan air terjun ini sering di sebut oleh masyarakat dengan nama Air Ceburan. Air terjun ini terletak di desa Bengkel kecamatan Busungbiu. Pemandangan di sekitar air terjun tersebut sangatlah indah dengan dibuatkannya teras perkebunan. Untuk menuju ke lokasi obyek ini, kita berjalan melewati turunan yang belekak - lekok dan tidak begitu jauh dari jalan raya. Berikut foto-foto obyek tersebut :












Bagi yang belum pernah ke obyek wisata tersebut, tiada salahnya untuk berkreasi ke tempat ini

Kamis, Maret 15, 2012

Tujuan Agama Hindu

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah “Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma”, yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.

Agama sebagai pengetahuan kerohanian yang menyangkut soal-soal rohani yang bersifat gaib dan methafisika secara esthimologinya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata “A” dan “gam”. “a” berarti tidak dan “gam” berarti pergi atau bergerak. Jadi kata agama berarti sesuatu yang tidak pergi atau bergerak dan bersifat langgeng. Menurut Hindu yang dimaksudkan memiliki sifat langgeng (kekal, abadi dan tidak berubah-ubah) hanyalah Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Demikian pula ajaran-ajaran yang diwahyukan-Nya adalah kebenaran abadi yang berlaku selalu, dimana saja dan kapan saja.

Berangkat dari pengertian itulah, maka agama adalah merupakan kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi dengan tujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yang berupa kebahagiaan yang maha tinggi dan kesucian lahir bathin.
Tujuan Agama Hindu

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah “Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma”, yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.
Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.
Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena seringkali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntunan kama atas artha, sebagaimana disyaratkan di dalam Weda (S.S.12) sebagai berikut:
Kamarthau Lipsmanastu

dharmam eweditaccaret,

na hi dhammadapetyarthah

kamo vapi kadacana.

Artinya:

Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga, sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (S.S.14), sebagai berikut:
Dharma ewa plawo nanyah

swargam samabhiwanchatam

sa ca naurpwani jastatam jala

dhen paramicchatah

Artinya:

Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga, sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar untuk mengarungi lautan.
Selanjutnya di dalam Cantiparwa disebutkan pula sebagai berikut:


Prabhawar thaya bhutanam

dharma prawacanam krtam

yah syat prabhawacam yuktah

sa dharma iti nicacayah

Artinya:

Segala sesuatu yang bertujuan memberi kesejahteraan dan memelihara semua mahluk, itulah disebut dharma (agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan dunia itulah dharma yang sebenarnya.
Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut:

“Weda pramanakah creyah sadhanam dharmah”

Artinya:

Dharma (agama) tercantum didalam ajaran suci Weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan manunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).
Weda (S.S. 16) juga menyebutkan :


Yathadityah samudyan wai tamah

sarwwam wyapohati

ewam kalyanamatistam sarwwa

papam wyapohati

Artinya:

Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.
Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi. Demikianlah Catur Purusa Artha itu.
Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)

Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

Goak - goakan Busungbiu Hut kota Singaraja

Busungbiu sehari sebelum nyepi

Foto ogoh ogoh 2011 di Busungbiu







Slide Show

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates